Home

Kakek Tua dan Becak

Kemarin aku pulang naik becak. pengemudinya
Seorang kakek tua berkepala cepak, dan tampak
sangat capek.
Aku pulang dengan membawa sekeranjang rasa rindu,
dan secuil perasaan malu.
Maklum, aku pulang ke rumah,
tempat dikuburkan segala caci dan amarah.

Amarahku pada bapak, yang senang membanting
kepalaku yang pening hingga pecah berkeping-
keping dan kerap menimbulkan suara yang bising.
Atau juga cacianku pada diri sendiri yang terkencing-
kencing pesing karena ketakutan mendengar bentakan
bapak yang menuduhku sebagai orang sinting.
Walaupun pada akhirnya bapak tahu
Siapa sebenarnya yang otaknya agak miring.

Becak melaju pelan, rodanya tersedu sedan
karena keberatan muatan.
Sepanjang perjalanan kakek tua pengemudi becak
Terus mengoceh. Katanya sudah sering dia mengantar
Orang-orang rantau seperti diriku. Mereka semua
Sama. Sarat dengan rindu.

Katanya lagi, seringkali salah satu roda becak
Jebol karena beban terlalu berat. Sehingga penumpang
Harus membuang sedikit rasa rindu
Yang mereka bawa. Atau, becak tak akan pernah
Bisa segera menghantar mereka sampai ke rumah.
“kraaakk”, roda becak bagian belakang lepas.
Kami terhempas. Aku njomplang ke atas, kakek tua
Terjerembab ke tanah. Wajahnya sungguh melas.
“sudah kubilang,” ia menghardik.
“mana kutahu.” Perutku terasa mulas, sebab
Pusakaku terantuk kursi becak yang keras.
Ia melotot. Aku pun juga bisa jika hanya sekedar melotot.
Ternyata kami berdua sama-sama orang yang kolot.

“sepertinya aku mengenal kamu. Kamu yang dulu
Sering terkencing-kencing kan? Haha..” giginya ompong
Terlalu banyak beromong kosong.
“ya. Dan kau orang sinting yang suka membanting
Kepalaku.”
Sekarang aku menyesal telah menunpang
Becaknya.

Karena tahu siapa keparat pengemudi becak itu, akhirnya
Aku memilih membuang kedua barang bawaanku:
Rasa rindu dan malu. Agar becak segera
Dapat mengantarku sampai ke rumah. Tempat dikuburkan
Segala caci dan amarah.

Surabaya, 2008

Apa Kabar Kata?

Apa kabar kata? Lama tak jumpa.
Semoga kau tetap tajam, setajam pisau
Dan sendu, sesendu nasibku yang kerap risau.

Kau pergi tanpa kata. Tentu kau ingat itu kata?
Di suatu sore kau datang, tapi itu pun sekedar mampir.
Kemudian kau kembali mangkir.

Kini kau tentu sudah bahagia, bisa mengucapkan dirimu sendiri
Sedang aku dan orang-orang yang senasib kembali bisu
Karena kehilanganmu.

Mampirlah lagi sekali-kali, kita mabuk sedikit
Sambil kuceritakan kisahku yang kerap pahit.
Lalu akan kutungkan air jiwaku ke dalam matamu
Agar kelak kau bisa mengucapkannya atas nama kesialanku.

Surabaya, 2008

Di Sudut Kata-Kata

Mari kita muntahkan kata-kata
seperti dulu, saat kita masih belum terlalu lupa:
Tentang arak yang ditenggak sembari berserapah
“kamilah jagoan. Dan kalian pecundang”
Atau saat berkata, “tak ada kata. Yang ada hanya kita!”
Lantas aku muntah. Juga tertawa.
Sedang kau bersenandung mendung
“hatinya tak bisa kulumpuhkan dengan kata-kata”

Surabaya, 2008

Selepas Tuhan Alpa

Suara orang berdzikir menari-nari di telinganya
Tapi hatinya masih lelap, kadang juga kalap
Bak seorang pandir teriak-teriak:
“Tuhan, aku masih mau mangkir”

Dipakainya sarung di kepala
Kepala masuk di dalam sarung.
Berjalan murung mengutuk latta
“brengsek, ternyata malam ini Tuhan alpa”

Tapi Tuhan sudah menunggunya dengan senyum
Dengan cambuk terayun-ayun, siap menghajar
Sombongnya yang ranum.

Sehabis mengumandangkan adzan dia pulang,
tak ikut sholat. “Aku tak sedang tersesat” katanya laknat,
Walau kadang edannya sering kumat.

Di kaki malam dia tersungkur
Dilindas keyakinannya yang mulai lebur.

Surabaya, 2007

__________-
*Lahir di Surabaya tahun 1983, Alumnus Fakultas Ilmu Budaya Unair. menulis sejak SMA. karyanya tersebar di media lokal maupun nasional, seperti: Jawa Pos, Radar Surabaya, Surya, Radar Banten, Indo Pos, Pontianak Pos. Puisi dan cerpennya juga didokumentasikan dalam antologi: Monolog Kelahiran (2006), Berita Air Mata (2008), Para Pewaris Cinta (2008) Saat ini berdomisili di Surabaya.

Leave a comment