Home

Cerpen Finsa E Saputra*

Aku terjaga di kantung subuh. Ketika gema adzan melayang-layang. Dan saat malam hanya tersisa sepotong lagi.
Persendianku terasa ngilu. Kudapati dingin kabut menyusup melalui celah jendela kamarku; menusukku dengan pisau-pisau embun beku. Dingin. Gerimis hanya menyisakan kelu bagi badanku. Mengigil.
Kuantar tubuhku pada pemberontakan: bangkit berdiri dari tempat tidur. Percobaan gagal; aku terduduk di atas kasur. Berat gravitasi menarikku kembali jatuh. Kutengok jam weker digital, 4.44. Aku masih layu. Rasanya sisa-sisa mimpi masih menggelantung di antara kesadaranku. Memang mataku masih saja belum fokus. Buram. Dan otakku masih terangkat keluar dari tempurung kepalaku; ringan terbang.
Apa aku masih bermimpi?
Kubaringkan kembali tubuhku. Kepalaku kembali terbenam di atas bantal. Semakin terasa bahwa sebenarnya aku belum sadar benar. Masih terapung di genangan mimpi.
Aku terjaga kembali. Kali ini tempat keramaian. Selonjor di sebuah bangku. Banyak orang lalu lalang. Ruangan ini sangat wangi, bau tubuh orang-orang ini menguap di seantero ruangan. Ruangan yang luas, juga familiar.
Aku ingat. Ini adalah hall kampus. Tempat aku bertransformasi menjadi orang yang lebih baik. Wajah-wajah yang kukenal. Kaos-kaos dengan desain yang kuakrabi selama 2 tahun ini.
Kapan aku tertidur di tempat ini?
”Akhirnya kau bangun juga”, suara itu membangunkan semi-mimpi-semi-lamunan-ku. Aku menoleh. Wajah bulat yang kukenal.
”Hah. Eh, ya. Jam berapa sekarang?”
”Kuliah udah selesai dari tadi, sa. Ini udah sore”
Aku masih mencoba menyulam rajutan kesadaranku. Wajah bulat di sampingku menawari sebatang rokok. Entah kenapa, penawaran itu langsung kuterima. Bukan karena aku memang perokok. Ada sesuatu yang lain. Mungkin nikotin mampu mengembalikan fokusku.
”Bentar sa, aku ke kamar mandi dulu”, kuanggukkan kepalaku. Kusedot rokok amat dalam. Mataku terus terkunci pada temanku berwajah bulat yang berjalan gontai ke arah kamar mandi. Langkahnya yang khas menyusuri lorong; lorong penghubung seperti sebuah tunel listrik; saluran pipa, atau lebih tepat bila mirip knalpot. Lorong paling strategis karena penghubung ke lahan parkir kampus. Tempat di mana puluhan kendaraan bermotor terparkir.
Temanku-berwajah-bulat berhenti. Tangannya merogoh kedalaman tas. Ia mengeluarkan sesuatu. Tidak jelas, penglihatanku terasa menjadi ganda. Dapat kulihat dari keburaman: perak dengan laras panjang. Benda tersebut di dekatkan ke pelipis kanannya. Ia menoleh! Tersenyum.
Rokokku terlepas dari jepitan kedua jariku; menimpa kakiku; panasnya menjalar. Kutendangkan kakiku. Refleks. Perhatian kukembalikan pada temanku. Ia telah tergeletak bersimbah darah. Mana suara tembakannya? Dengan badan bulat seperti itu pasti bunyi jatuh akan terdengar. Dan mana orang-orang. Semua tiba-tiba senyap.
Aku terjaga.
Kuatur nafasku beberapa saat. Wajah temanku-berwajah-bulat muncul. Segera kucari di mana ponselku tergeletak. Kutemukan tersesat dikusutnya sprei. Kuketik sebuah pesan singkat: hei, kau tidak apa-apa kan? Bales ya cok!.
Pesan terkirim. Ponsel ketaruh di atas meja dekat dengan jam weker digitalku. 5.05. Aku tertidur lebih dari 15 menit. Kuusap air liur yang mengering di ujung bibir. Pikiranku masih terusik oleh mimpi buruk barusan. Kurebahkan kembali tubuhku. Otakku menembus langit-langit. Mencoba mencari jawaban di ketinggian.
Aku kembali terjaga dari tidur.
Cahaya masih minim ketika mencoba menerobos kaca jendela. Kutengok jam weker digitalku: 5.15. Di bawah angka penujuk jam kulihat tak sengaja penunjuk tanggal: 1 Januari 2009. Kupungut ponselku yang tergeletak di sebelahnya. Sebuah pesan masuk; kubuka dengan degup cemas; pesan itu berbunyi, ”Sa, hari ini jangan lupa bawa buku yang kemarin lusa kamu pinjem ya. Ojo lali ”. Sial. Ini pesan dari teman yang lain. Mungkin teman-berwajah-bulat-ku masih tertidur. Dipenghujung pekan memang kuliah hanya tercecer disiang hari. Terlebih lagi hari setelah libur seperti pagi ini.
Kusandarkan punggungku di tembok, dengan bantuan bantal. Sepertinya memang, hanya teman satu ini yang terlihat paling menyenangkan. Rasanya kesedihan tak pernah menggodanya, kesedihan adalah sesuatu yang asing bagi temanku ini. Yang terlebih lagi adalah sedemikian besar rasa kesetiakawanannya. Sebesar apapun berat masalah yang dialami orang lain (dalam hal ini teman-temannya) akan selalu ia tolong sekuat kemampuannya.
Perasaanku semakin galau. Kekhawatiran semakin menguasaiku. Ingin segera matahari naik ke atas langit agar pagi segera menyingsing, dan ketika pagi tiba segera kuketahui kabar dari teman-berwajah-bulat.

Waktu yang tertera di jam weker digitalku menunjukkan 5.30. rasanya lama sekali matahari muncul. Kutengok ponselku siapa tahu balasan dari temanku-berwajah-bulat tiba lebih awal. Nihil. Perasanku semakin dikontaminasi oelh firasat-firasat janggal. Oleh firasat mengenai keburukan.
Firasat memang selalu tiba disaat emosi sedang kalut. Menyerang saat ketidak-pastian mengenai apapun muncul. Firasat ingin sekali dipercaya. Firasat memaksa kita dengan julur lidah mereka; dijilatinya kita hingga sekujur tubuh basah kuyup, dan saat kita kuyup oleh liur mereka maka tak ada yang lain selain pasrah. Pasrah saja terhadap firasat. Firasat buruk membujukku untuk percaya bahwa terjadi sesuatu dengan temanku-berwajah bulat.
Aku mencuba membenahi posisiku bersandar. Kembali menatap langit-langit kosong kamar. Mencoba mengingat temanku-berwajah-bulat.
”Akhir minggu ini aku akan merayakan natal di Jakarta”, suatu siang ketika hujan menghapus terik Surabaya secara tiba-tiba.
”Jadi kau tak tahun-baruan di Surabaya?”
”Gak bisa. Orang tuaku menunggu di Jakarta, semenjak setengah tahun yang lalu aku belum menampakkan diri di depan orang tuaku”
”Wah, jadi aku gak ada teman tahun-baruan dong”
”Maaf ya”
Lamunanku tersandung.
Perutku terasa amat sakit. Perih. Seringkali memang pagi hari buta seperti ini kurasakan hal yang seperti ini: serangan fajar. Segera kumenuju toilet. Kekhawatiran sementara terputus.

Aku sangat berharap dapat melewati pergantian tahun bersama temanku itu. Selain karena teman-teman lain memutuskan bersama keluarga mereka masing-masing. Aku selalu ingin melewati pergantian tahun dengan suasana menyenangkan. Dan melewati pergantian tahun bersama temanku-berwajah-bulat tersebut sesuai dengan kualifikasi tahun baru idaman.
Tahun baru selalu kuanggap hal sakral. Nilainya melebihi seluruh penanggalan merah pada kalender. Sebuah awal. Tahun baru bukan anak dari tahun yang lama, bukan perpanjangan tangan. Tahun baru lahir secara terpisah. Sehingga selalu menyimpan misteri. Tahun yang baru adalah harapan.
Maka, amat sangat menyesal diriku saat ini. Ketika harus kulewati pergantian tahun seorang diri dalam kamar. Hanya dapat kuintip dari balik jendela percikan api warna-warni di atas langit Surabaya. Keramaian Tahun Baru hanya dapat kunikmati bersama rokok-rokok dan kopi di dalam kamar. Perayaan sakral terhadap pengharapan tahun yang baru harus kulewati tanpa temanku-berwajah-bulat. Sebuah tahun baru yang kuharapkan. Dapat kubayangkan sejenak tahun ini akan banyak kesialan. Sebuah awal paragraf bagi tahun ini terbaca amat buruk.
Kembali bayangan mimpi buruk menggelanyut di awang-awang. Benda perak berlaras panjang kulihat menyentuh pelipis temanku-berwajah-bulat. Senyumnya: firasat buruk bagiku. Ia tersenyum semakin lebar,
Firasat buruk menghinggapiku. Baik mengenai temanku-berwajah-bulat maupun pergantian tahun yang gagal. Aku kehilangan keduanya. Tepat dihari tersakral bagiku. Tepat dihari yang menemuinya harus melawan hari-hari lain. Tepat dihari yang menemuinya harus dengan determinasi selama setahun. Sebuah awal paragraf dengan ide pokok sebuah firasat buruk.
Ponselku berdenyut. Kurasakan getarannya. Waktu berhenti berdetak. Kurasakan kebekuannya. Pelan kusentuh tombol untuk membuka pesan. Kubaca lamat pesan tersebut, dari temanku-berwajah-bulat! Kueja huruf demi huruf. Pesan itu mengakhiri paragraf awal tahunku. Sebuah pesan dari Jakarta: selamat tahun baru.

Malang, akhir Desember 2008

_______________
*Lahir Sidoarjo, 27 Maret 1989. Mahasiswa Sastra Indonesia Unair. Saat ini menjabat sebagai Ketua HIMA Sastra Indonesia Unair. Karyanya pernah dimuat di Radar Surabaya, Surabaya Pos, dan Kompas. Terlibat dalam produksi film pendek Maya (2008) sebagai penulis skenario dan sutradara. Cerpen-cerpennya juga pernah divisualkan ke bentuk komik Saat ini berdomisili di Surabaya.

Leave a comment